Pemikiran Politik Islam Jamaluddin Al-Afghani
Monday, March 17, 2014
0
komentar
(Muh Hermawan Ibnu Nurdin)
Jamaludin
Al-Afghani dilahirkan tahun 1938. tempat kelahirannya sulit dipastikan.
Ia mengaku dilahirkan di As’adabad, Konar, distrik Kabul, Afghanistan, dari keluarga penganut Mazhab Hanafi. Versi lain mengatakan, ia dilahirkan di As’adabad dekat Hamadan, Persia (Iran). Hal ini dilakukan dengan maksud menghindari kesewenang-wenangan penguasa Persia pada saat itu.[1]
Afghani
dibesarkan dibesarkan di Afgahanistan. Pada usia 18 tahun di Kabul,
Afghani tidak hanya menguasai segala cabang ilmu keagamaan, tetapi juga
mendalami falsafah, hukum, sejarah, metafisika, kedokteran, sains,
astronomi dan astrologi. Kemudian pergi ke India dan tinggal disana selama satu tahun sebelum menunaikan ibadah haji pada tahun 1857. pada waktu itu di India
terjadi pengotakan dramatis antara pembaharu Muslim yang pro-Inggris
dan Muslim yang anti-Inggris. Afghani bersekutu dengan kelompok Muslim
tradisionalis untuk menghadapi kelompok Muslim pro-Inggris. Ia menyadari
bahwa kebangkitan dan solidaritas Islam bisa menjadi senjata untuk
melawan Pemerintahan Inggris di bumi Muslim. Ia mendorong rakyat India untuk bangkit melawan kekuasaan Inggris. Hasilnya pada tahun 1857 muncul kesadaran baru di kalangan pribumi India untuk melawan penjajah.[2]
Sekembalinya ia di Afghanistan
ia memasuki dinas pemerintahan Amir Dost Muhamma Khan. Ketia Amir
meninggal dan digantikan oleh Amir Syir Ali, Afghani diangkat menjadi
Menteri. Namun ketika Syir Ali dijatuhkan maka dengan dalih akan
menunaikan ibadah haji lagi pada tahun 1869, Afghani meninggalkan Afghanistan.
Dari snilah awal keterlibatan langsung Afghani dalam gerakan
internasional anti kolonialisme/imperialisme Barat dan despotisme Timur.
Pada
tahun 1871 Afghani tiba di Istambul. Oleh karena masyarakat Istambul
sudah terlebih dahulu mendengar tentang kealiman dan perjuangannya, maka
tokoh-tokoh masyarakat di ibukota kerajaan Usthmaniyah itu
menyambutkanya dengan gembira. Belum lama tinggal di Istambul ia
diangkat menjadi anggota Majelis Pendidikan, dan mulai diundang
berceramah di Aya Sofia serta Masjid Ahmadiyah. Popularitas Afghani ini mengundang kecemburuan Hasan Fahmi, Syaikh al-Islam, dan mufti itu berhasil memfitnah Afghani dengan materi ceramahnya di muka sejumlah mahasiswa dan cendekiawan di Dar al-Funun. Karena fitnah ini Afghani memutuskan untuk pindah ke Kairo.
Di
Kairo ia disambut gembira, baik oleh penguasa maupun oleh ilmuan.
Melihat campur tangan Inggris di Mesir, dan tidak inginnya Inggris
melihat Islam bersatu dan kuat, Afghani akhirnya kembali lagi ke
politik. Sebagai langkah taktis atau intrik politik, Afghani bergabung
dengan perkumpulan Free Masonry, suatu organisasi yang disokong oleh kelompok anti zionis. Dari sini, tahun 1897 terbentuk partai politik bernama Hizb al-Wathani
(Partai Kebangsaan). Slogan partai ini: “Mesir untuk Bangsa Mesir”.
Partai ini antara lain menanamkan kesadaran berbangsa, memperjuangkan
pendidikan universal, kemerdekaanpers, memperjuangkan unsur-unsur Mesir
masuk dalam angkatan bersenjata.[3]
Dengan
berdirinya partai ini Afghani merasa mendapat sokongan untuk berusahan
menggulingkan raja Mesir yang berkuasa waktu itu, yakni Khadewi Ismail
yang pemboros, untuk digantikan dengan putera mahkota Taufiq. Taufiq
berjanji akan mengadakan pembaharuan-pembaharuan sebagaimana yang
dituntut Hizb al-Wathani. Tetapi karena kegiatan politik dan
agitasinya yang tajam terhadap campur tangan Inggris dalam negeri Mesir,
maka Taufiq atas tekanan Inggris justru mengusir Afghani keluar dari
Mesir pata tahun 1879.[4]
Dari
mesir Afghani dibawa ke India, ditahan di Haiderabad dan Kalkuta, dan
baru dibebaskan setelah pemberontakan Urabi Pasha di Mesir tahun 1882
berhasil ditumpas. Pada tahun 1883, Afghani berada di London kemudian pindah ke Paris dan menerbitkan majalah berkala dalam bahasa Arab Al-Urwah al-Wutqa
bersama muridnya Muhammad Abduh yang juga diusir dari Mesir karena
dituduh terlibat dalam pemberontakan Urabi Pasha yang gagal itu.
Dalam
majalah ini, Afghani mengembangkan polemik anti Inggrisnya. Ia mulai
mengemukakan argumen yang memperkuat pandangannya bahwa persatuan antar
negara Islam dapat membendung serbuan pihak asing. Karena peredarannya
dihalangi oleh penguasa kolonial, majalah berkala ini hanya berumur 8
bulan setelah terbit sebanyak 18 nomor. Nomor pertama terbit 13 Maret
1884 dan yang terakhir 17 Oktober tahun yang sama.
Pada tahun 1886, Afghani pergi ke Teheran. Dari sana
ia pergi ke Rusia, kemudian ke Eropa. Tahun 1889 kembali ke Teheran.
Tetapi kemudian Perdana Menteri Mirza Ali Asghar Khan, yang menganggap
kehadiran Afghani sebagai ancaman bagi kedudukannya, berhasil menghasut
Syah Nasirudin supaya tidak percaya lagi kepada Afghani. Pada awal tahun
1891, Afghani ditangkap dan dibawa ke Khariqin, suatu kota kecil dekat tapal batas Persia-Turki. Dari sana ia pergi ke London.
Kemudian atas undangan Sultan Abdul Hamid ia datang dan menetap di
Istambul, Turki. Afghani wafat pada bulan Maret 1879, karena kanker yang
berawal dari dagunya.[5]
Pemikiran Afghani: Revivalis dan Modernis
Semua
orang sepakat bahwa dialah yang menghembuskan gerakan Islam modern dan
mengilhami pembaharuan di kalangan kaum Muslim yang hidup
ditengah-tengah kemodernan. Dia pula yang pengaruhnya amat besar
terhadap gerakan-gerakan pembebasan dan konstitusional yang dilakukan
dinegara-negara Islam setelah zamannya. Ia menggabungkan ilmu-ilmu
tradisional Islamnya dengan berbagai ilmu pengetahauan yang diperolehnya
dari Eropa dan pengetahuan modern.[6]
Semua
usahanya dicurahkan untuk menerbitkan makalah-makalah politik yang
membangkitkan semangat, khususnya yang termuat dalam majalah Al-Urwah al-Wutsqa. Ia telah membangkitkan gerakan yang berskala nasional dan gerakan jamaah Islam.
Afghani mengembangkan pemikiran (dan gerakan) salafiyah,
yakni aliran keagamaan yang berpendirian bahwa untuk dapat memulihkan
kejayaannya, umat Islam harus kembali kepada ajaran Islam yang masih
murni seperti yang dahulu diamalkan oleh generasi pertama Islam, yang
juga biasa disebut salaf (pendahulu) yang saleh. Sebenarnya Afghani bukanlah pemikir Islam yang pertama yang mempelopori aliran salafiyah (revivalis). Ibnu Taymiyah telah mengajarkan teori yang serupa, begitu pula Syeikh Mohammd Abdul Wahab pada abad ke-18. Tetapi salafiyah
(baru) dari Afghani terdiri dari tiga komponen utama, yakni; Pertama,
keyakinan bahwa kebangunan dan kejayaan kembali Islam hanya mungkin
terwujud kalau umat Islam kembali kepada ajaran Islam yang masih murni,
dan meneladani pola hidup para sahabat Nabi, khususnya Al-Khulafa al-Rasyidin. Kedua, perlawanan terhadap kolonialisme dan dominasi Barat, baik politik, ekonomi maupun kebudayaan. Ketiga,
pengakuan terhadap keunggulan barat dalam bidang ilmu dan teknologi,
dan karenanya umat Islam harus belajar dari barat dalam dua bidang
tersebut, yang pada hakikatnya hanya mengambil kembali apa yang dahulu
disumbangkan oleh dunia Islam kepada Barat, dan kemudian secara selektif
dan kritis memanfaatkan ilmu dan teknologi Barat itu untuk kejayaan
kembali dunia Islam. Adapun alairan-aliran salafiyah sebelum Afghani hanya terdiri dari unsur pertama saja.[7]
Dalam
rangka usaha pemurnian akidah dan ajaran Islam, serta pengembalian
keutuhan umat Islam, Afghani menganjurkan pembentukan suatu ikatan
politik yang mempersatukan seluruh umat Islam (Jami’ah islamiyah) atau Pan-Islamisme.
Menurut Afghani, asosiasi politik itu harus melipluti seluruh umat
Islam dari segala penjuru dunia Islam, baik yang hidup dalam
negara-negara yang merdeka, termasuk Persia, maupun mereka yang masih
merupakan rakyat jajahan. Ikatan tersebut, yang didasarkan atas
solidaritas akidah Islam, bertujuan membiana kesetiakawanan danpesatuan
umat Islam dalam perjuangan; pertama, menentang tiap
sistempemerintahan yang dispotik atau sewenang-wenang, dan
menggantikannya dengan sistem pemerintahan yang berdasarkan musyawarah
seperti yang diajarkan Islam, hal mana juga berarti menentang sistem
pemerintahan Utsmaniyah yang absolut itu. Kedua, menentang kolonialisme dan dominasi Barat.[8]
Menurut
Afghani, dalam ikatan itu eksistensi dan kemandirian masing-masing
negara anggota tetap diakui dan dihormati, sedangkan kedudukan para
kepala negaranya, apa pun gelarnya, tetap sama dan sederajat antara satu
dengan yang lain, tanpa ada satu pun dari mereka yang lebih
ditinggikan.
Afghani
mendiagnose penyebab kemunduran di dunia Islam, adalah tidak adanya
keadilan dan syura (dewan) serta tidak setianya pemerintah pada
konstitusi dikarenakan pemerintahan yang sewenang-wenang (despotik),
inilah alasan mengapa pemikir di negara-negara Islam di timur tidak bisa
mencerahkan masyarakat tentang inti sari dan kebaikan dari pemerintahan
republik. Pemerintahan republik, merupakan sumber dari kebahagiaan dan
kebanggaan. Mereka yang diatur oleh pemerintahan republik sendirilah
yang layak untuk disebut manusia; karena suatu manusia yang sesungguhnya
hanya diatur oleh hukum yang didasari oleh keadilan dan mengatur
gerakan, tindakan, transaksi dan hubungan dengan orang yang lain yang
dapat mengangkat masyarakat ke puncak kebahagiaan. Bagi Afghani,
pemerintah rakyat adalah “pemerintahan yang terbatas”, pemerintahan yang
yang dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat, dan karenanya
merupakan lawan dari pemerintahan absolut. Merupakan suatu pemerintah
yang berkonsultasi dalam mengatur, membebaskan dari beban yang
diletakkan pemerintahan despotik dan mengangkat dari keadaan membusuk ke
tingkat kesempurnaan.[9]
Reformasi atau pembaharuan dalam bidang politik yang hendak diperjuangkan oleh salafiyah
(baru) di negara-negara Islam adalah pelaksanaan ajaran Islam tentang
musyawarah melaui dewan-dewan konstitusi dan badan-badan perwakilan
(rakyat), pembatasan terhadap kekuasaan dan kewenangan pemerintah dengan
konstitusi dan undang-undang, serta pengerahan kekuatan dan potensi
rakyat untuk mendukung reformasi politik an sekaligus untuk membebaskan
dunia Islam dari penjajahan an dominasi Barat.
Menurut
Afghani, cara terbaik dan paling efektif untuk mencapai tujuan-tujuan
tersebut adalah melalui revolusi yang didasarkan atas kekuatan rakyat,
kalau perlu dengan pertumpahan darah. Ia mengatakan bahwa kalau memang
ada sejumlah hal yang harus direbut dan tidak ditunggu untuk diterima
sebagai hadiah atau anugerah, maka kebebasan an kemerdekaan merupakan
dua hal tersebut.[10]
Waktu
tinggal di Mesir, sejak awal Afghani menganjurkan pembentukan
“pemerintaha rakyat” melalui partisipasi rakyat Mesir dalam pemerintahan
konstitusional yang sejati. Ia banyak berbicara tentang keharusan
pembentukan dewan perwakilan yang disusun sesuai dengan apa yang
diinginkan rakyat, dan anggota-anggotanya terdiri ari orang-orang yang
betul-betul dipilih oleh rakyat, sebab dia berkeyakinan bahwa suatu
dewan perwakilan yang dibentuk atas perintah raja atau kepala negara,
atau atas anjuran penguasa asing, maka lembaga tersebut akan lebih
merupakan alat politik bagi yang membentuknya. Ketika penguasa Mesir,
Khedewi Taufiq bermaksud menarik kembali janjinya untuk membentuk dewan
perwakilan rakyat berdasarkan alasan bahwa rakyat masih bodoh dan buta
politik, Afghani menulis surat kepada Khedewi yang isinya menyatakan
bahwa memang benar di antara rakyat Mesir, seperti halnya rakyat
dinegeri-negeri lain, banyak yang masih bodoh, teapi itu tidak berarti
bahwa di antara mereka tidak terdapat orang-orang pandai dan berotak.[11]
Tujuan
utama gerakan Afghani ialah menyatukan pendapat semua negara-negara
Islam dibawah satu kekhalifahan, untuk mendirikan sebuah imperium Islam
yang kuat dan mampu berhadapan dengan campur tangan bangsa Eropa. Ia
ingin membangunkan kesadaran mereka akan kejayaan Islam pada masa lampau
yang menjadi kuat karena bersatu. Menyadarkan bahwa kelemahan umat
Islam sekarang ini adalah karena mereka berpecah-belah.[12]
Afghani
berusaha menghimpun kembali kekuatan dunia Islam yang tercecer. Ia
yakin bahwa kebangkitan Islam merupakan tanggungjawab kaum Muslim, bukan
tanggung jawab Sang Pencipta. Masa depan kaum Muslim tidak akan mulia
kecuali jika mereka menjadikan diri mereka sendiri sebagai orang besar.
Mereka harus bangkit dan menyingkirkan kelalaian. Mereka harus tahu
realitas, melepaskan diri dari kepasrahan. Ia menjelaskan kebobrokan
umat Islam, dan menerangkan bahwa duni Islam sedang terancam. Ancamannya
datang dari Barat yang memiliki kekuatan dinamis. Afghani mengajak umat
Islam untuk melakukan perbaikan secara internal, menumbuhkan kekuatan
untuk bertahana dan mengaopsi buah peradaban Barat, khususnya dalam
bidang ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mengembalikan kejayaan
Islam. Barat harus dihadapi karena dialah yang mengancam Islam. Cara
menghadapinya adalah dengan menirunya dalam hal-hal yang positif, selain
aturan kebebasan dan demokrasinya.[13]
Afghani
adalah pembaharu muslim pertama yang menggunakan term Islam dan Barat
sebagai dua fenomena yang selalu bertentangan. Sebuah pertentangan yang
justru harus dijadikan patokan berpikir kaum muslim, yaiut untuk
membebaskan kaum muslim dari ketakutan dan eksploitasi yang dilakukan
oleh orang-orang Eropa.[14]
Beberapa buku yang ditulis oleh Afghani antara lain[15]; Tatimmat al-bayan (Cairo, 1879). Buku sejarah politik, sosial dan budaya Afghanistan. Hakikati Madhhabi Naychari wa Bayani Hali Naychariyan.
Pertama kali diterbitkan di Haydarabad-Deccan, 1298 H/1881 M, ini
adalah karya intelektual Afghani paling utama yang diterbitkan selama
hidupnya. Merupakan suatu kritik pedas dan penolakan total terhadap
materialisme. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam Arab oleh Muhammad
Abduh dengan judul Al-Radd 'ala al-dahriyyin (Bantahan terhadap Materialisme). Al-Ta'Liqat 'ala sharh al-Dawwani li'l-'aqa'id al-'adudiyyah (Cairo, 1968). Berupa catatan Afghani atas komentar Dawwani terhadap buku kalam yang terkenal dari] Adud al-Din al-'Iji yang berjudul al-‘aqa’id al-‘adudiyyah. Berikutnya Risalat al-waridat fi sirr al-tajalliyat (Cairo, 1968). Suatu tulisan yang didiktekan oleh Afghani kepada siswanya Muhammad 'Abduh ketika ia di Mesir. Khatirat Jamal al-Din al-Afghani al-Husayni (Beirut,
1931). Suatu buku hasil kompilasi oleh Muhammad Pasha al-Mahzumi
wartawan Libanon. Mahzumi hadir dalam kebanyakan forum pembicaraan
Afghani pada bagian akhir dari hidupnya Buku berisi informasi yang
penting tentang gagasan dan hidup Afghani.
Selanjutnya,
pemikiran Afghani, diteruskan dan dikembangkan oleh murid-muridnya
yakni Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Selanjutnya, pemikiran Islam
modern yang mereka kembangkan bukan hanya pada tingkat wacana, namun
ditransformasikan oleh pengikut-pengikut selanjutnya menjadi gerakan.
Dapat dikatakan bahwa gerakan Islam di abad kedua puluh banyak
terpengaruh olehnya dan menjadikannya sumber inspirasi.[16] Pengaruh tersebut terlihat dalam tokoh dan gerakan-gerakan Islam modern masa kini seperti Hasan al-Banna dengan Ikhwanul Muslimin, Abul A’la al-Maududi dengan Jama’atul Islam dan termasuk Muh Natsir dengan Masyuminya. Wallahu’alam
DAFTAR PUSTAKA
Abdulbasit Hasan, Jamal Ad-Din Al-Afghani, Cairo, 1982, dalam Dr. Azzam S. Tamimi, Democracy in Islamic Political Thought, (http://www.iol.ie/~afifi/Articles/democracy.htm)
Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000).
Munawir Sajdzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1993).
RA Gunadi & M Shoelhi (Penyunting), Dari Penakluk Jerusalem hingga Angka Nol, (Jakarta: Penerbit Republika, 2002).
Website:
http://www.cis-ca.org/voices/a/afghni.htm
[1] Munawir Sajdzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1993). Hal.117
[2] RA Gunadi & M Shoelhi (Penyunting), Dari Penakluk Jerusalem hingga Angka Nol, (Jakarta: Penerbit Republika, 2002). Hal.136
[3] Ibid, hal.137
[4] Ibid, Hal.140
[5] Munawir Sajdzali, op cit. hal.119-120
[6] Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hal.293
[7] Munawir Sjazali, op cit. hal. 124-125
[8] Ibid. hal.126
[9] Abdulbasit Hasan, Jamal Ad-Din Al-Afghani, Cairo, 1982, pp. 267-8, dalam Dr. Azzam S. Tamimi, Democracy in Islamic Political Thought, (http://www.iol.ie/~afifi/Articles/democracy.htm)
[10] Munawir Sjazali, op cit. hal.129
[11] Ibid. hal 128
[12] Husayn Ahmad Amin, op cit. hal 295
[13] Ibid. hal 294-295
[14] ibid. hal 295
[15] http://www.cis-ca.org/voices/a/afghni.htm
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Pemikiran Politik Islam Jamaluddin Al-Afghani
Ditulis oleh Vika
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke https://vikaardiansyah.blogspot.com/2014/03/pemikiran-politik-islam-jamaluddin-al.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Vika
Rating Blog 5 dari 5
0 komentar:
Post a Comment