Tafsir Ahkam: Hukum Khamr (Minuman Keras)
Sunday, March 9, 2014
0
komentar
Tafsir Ahkam: Hukum Khamr (Minuman Keras)
BAB
I
PENDAHULUAN
Modernisasi adalah suatu keniscayaan bagi
umat manusia. Dalam pengertiannya, Wilbert E Moore menyebutkan bahwa
modernisasi adalah suatu transformasi total kehidupan manusia yang tradisional
atau pra modern dalam arti teknologi serta organisasi sosial kearah pola-pola
ekonomis dan politis yang menjadi cirri negara barat yang stabil. Sementara
menurut J W School, modernisasi adalah suatu transformasi, suatu perubahan
masyarakat dalam segala aspek-aspeknya.
Modernitas tidak bisa lepas dari
globalisasi, adanya kedua hal tersebut terdapat dampak positif yang bisa kita
rasakan, seperti; tingkat kehidupan yang lebih baik dengan perkembangan pengetahuan
dan teknologi, akses informasi yang cepat, produktifitas tinggi, dan yang
terakhir adalah pola pikir irasional menjadi rasional atau modern. Namun
modernisasi dan globalisasi juga tidak luput dari sebuah kelemahan atau efek negative
yang ditimbulkannya, seperti hilangnya tata nilai dalam masyarakat, pola hidup
yang konsumtif, gaya hidup yang kebarat-baratan, dan sekularisme.
Antara
gaya hidup yang kebarat-baratan dengan sekularisme tentu saja mempengaruhi pola
prilaku bagi masyarakat khususnya Indonesia yang mayoritas adalah pemeluk agama
Islam. Agama tidak lagi menjadi pegangan hidup, dan posisinya semakin
terpinggirkan. Hal ini mengakibatkan banyak manusia yang semakin jauh dari
aspek spiritualitas. Bahkan banyak remaja –terlahir sebagai manusia modern—yang
sudah tidak lagi mengenal agama dalam hidupnya, yang akhirnya perilaku sex
bebas, narkoba, miras, minol, dan perjudian menjadi tren masyarakat timur
sekarang ini. Mereka
berpendapat hal tersebut adalah suatu modernisasi yang apabila tidak diikuti
maka mereka akan dianggap ketinggalan zaman dan tereksklusikan dari hubungan sosial
dalam peer group-nya
sendiri.
Mayoritas
penduduk Indonesia adalah beragama Islam, dalam Islam –al-Qur’an dan al-Hadist
sebagai sumber utama hukum Islam— sangat melarang perbuatan-perbuatan seperti
sex bebas, narkoba, minum minuman keras, dan berjudi. Namun bila kita melihat
apa yang terjadi sehari-hari di lingkungan sekitar kita, secara langsung maupun
tayangan di media-media informasi, perilaku-perilaku yang melanggar tata norma
bahkan hukum Islam itu sendiri sudah menjadi hal yang lumrah dan merupakan
suatu kewajaran. Faktor kewajaran inilah yang mendorong manusia-manusia modern
sudah tidak takut lagi mencoba hal-hal yang menurut asalnya bertentangan dengan
tata norma dan Islam. Salah satu pelanggaran yang menjadi sebuah kewajaran
adalah miras dan minol, yang dalam Islam disebut Khamr,
Miras
dan minol bukan saja identik dengan kebudayaan barat yang sekuler, namun
jenis-jenis minuman keras juga banyak ditemukan di beberapa daerah di
Indonesia, seperti tuak dan arak yang merupakan produk asli suku-suku di
Indonesia dan merupakan menjadi jamuan wajib pada upacara-upacara dan ritual
adat setempat. Jadi dalam beberapa kasus di Indonesia, minuman keras jenis arak
dan tuak sudah menjadi bagian dari kebudayaan di beberapa suku di Indonesia
Di satu sisi modernisasi, dan globalisasi
memang tidak terelakkan bagi masyarakat yang dinamis, yang mendambakan
perubahan-perubahan kearah lebih baik bagi manusia, namun di sisi yang lain
membuat manusia kehilangan spiriualitas dalam dirinya. Serta beberapa
kebudayaan yang menuntut masyarakatnya untuk tetap melestarikan budaya asli
sebagai warisan dari nenek moyang mereka. Disinilah sebenarnya peran agama
–Islam sebagai hudan linnas— menjadi sangat penting sebagai solusi dari
kasus-kasus factual yang terjadi pada masyarakat modern.
Sebagaimana diketehui bahwa al-Qur’an
merupakan sumber pokok ajaran agama Islam, yang didalamnya berisi tiga aspek.
Aspek pertama dan kedua adalah I’tiqadiyyah atau ketauhidan dan Akhlak,
hal ini dijelaskan kepada manusia agar mereka mengakui kebesaran dan kekuasaan
Allah. dan yang ketiga adalah aspek hukum Islam dan peraturan-peraturan yang
harus dipatuhi manusia. Hubungan ini meliputi hubungan manusia dengan Khalik
dan hubungan esame manusia serta alam lingkungan dimana manusia itu berada.
Al-Qur’an juga diturunkan kepada umat manusia di bumi agar terjadi perubahan
kearah yang lebih positif dalam kehidupan manusia, serta agar manusia dapat
keluar dari kegelapan menuju cahaya.
Dalam kasus miras dan minol –dalam hal ini
dikategorikan sebagai khamr—, Allah memberikan larangan keras kepada dua hal
tersebut sebagaimana yang tertuang dalam surat al-Maidah ayat 90-91. Namun
pengharaman tersebut, Allah tidak langsung mengukuminya, akan tetapi terdapat
proses hingga akhirnya secara tegas khamr diharamkan bagi umat Islam.
Dalam makalah ini, akan dijelaskan beberapa
ayat-ayat hukum tentang Khamr, Maysir, Anshab, dan Azlam, yang pada
dewasa ini, perbuatan-perbuatan tersebut sudah menjadi sebuah kebiasaan bagi
masyarakat modern di Indonesia, bahkan menjadi tradisi di beberapa daerah di
Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. KHAMR
Secara etimologi, khamr (خمر)
berasal dari kata khamara (خمر) yang artinya adalah penutup dan menutupi.
Maksud penutup adalah bahwa khamr dapat menutup akal fikiran dan logika
seseorang bagi yang meminumnya. Sedangkan secara terminologi, seperti yang
dikutip dari Al-Isfihani[1]
khamr berarti minuman yang dapat menutup akal atau memabukkan, baik orang yang
meminumnya itu mabuk ataupun tidak. Jadi minuman yang memabukkan itu disebut
khamr karena ia dapat menutup akal manusia. Salah satu alasan inilah khamr
diharamkan dalam Islam disamping beberapa alasan lain.
Pada zaman jahiliyyah, minuman khamr adalah
suatu hal yang sangat disenangi, dan meminum khamr sudah menjadi suatu
kewajaran pada masyarakat Arab, karena itu al-Qur’an tidak melarangnya dengan
secara sekaligus. Ada beberapa tahap perbincangan al-Qur’an mengenai khamr,
yaitu sebagai berikut :
1. Surat An-Nahl ayat 67
وَمِنْ ثَمَرَاتِ النَّخِيلِ وَالأعْنَابِ تَتَّخِذُونَ
مِنْهُ سَكَرًا وَرِزْقًا حَسَنًا إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَةً لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
Artinya : Dan dari buah kurma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan
dan rezeki yang baik. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan.
Tafsir Ayat : Dalam ayat ini Allah menyebut macam minuman
yang dihasilkan oleh buah-buahan seperti kurma dan anggur, yaitu yang kamu
jadikan minuman yang memabukkan dan juga dari kedua pohon itu terdapat rizki
yang baik, yakni dari buah-buahan yang sudah kering. Dan itulah terdapat
tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Allah.[2]
Setelah ayat ini turun, kaum muslimin masih
meminum khamr karena bagi mereka pengharaman khamr masih belum ada dalam ayat
ini. Namun menurut Fazlur Rahman, khamr sudah diharamkan sejak awal kenabian di
Mekkah, dan ayat ini merupakan Tahrim ‘am (pengharaman yang bersifat
umum) dan belum secara tegas.[3]
Indikasi dari pengharaman tersebut ialah bagaimana Allah telah memberi
peringatan kepada umat manusia atas efek memabukkan dari minuman yang terbuat
dari buah kurma dan anggur. Hal ini dapat dilihat pada peristiwa masuk Islamnya
A’sya Ibnu Qais. Ketika ia bermaksud menyatakan Islamnya di hadapan Rasulullah,
ditengah jalan ia dicegat oleh Abu Sufyan, Abu Jahal, dan orang-orang Quraisy
lainnya. “Hai Abu Bashir, Muhammad mengharamkan zina,” kata mereka. Kata A’sya “Aku tidak
keberatan”. “Abu Bashir, Muhammad mengharamkan khamr”, kata mereka lagi , dan
seterusnya. Peristiwa ini terjadi di Mekkah, ketika Abu jahal masih hidup. Abu
jahal terbunuh dalam perang Badar, jauh sebelum surat al-Maidah ayat 90-91
turun. Dalam Hadist yang dikeluarkan oleh Thabrani, dari Mu’adz Ibn Jabal,
disebutkan bahwa yang pertama kali diharamkan pada permulaan kenabian adalah
minuman khamr.
Fazlur Rahman juga berpendapat, yang
pertama mengharamkan khamr sebenarnya adalah surat al-A’raf ayat 33 :
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا
ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ
تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى
اللَّهِ مَا لا تَعْلَمُونَ.
Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji,
baik yang nampak atau pun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa (al-itsm), melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan)
mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujah untuk
itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu
ketahui". al-itsm dalam ayat ini adalah khamr, sebagaimana
ditegaskan dalam surat al-Baqarah ayat 219. Al-A’raf merupakan surat yang turun
dalam periode Makiyyah awal.[4]
Kata al-itsm yang berarti khamr juga
terdapat dalam perkataan syair. :
شربت الاثم ضلّ عقلى كذالك الاثم يذهب بالعقول
“Ku minum khamr hingga akalku hilang,
demikian juga dosa dapat membuat akal menghilang”. Sesungguhnya ia menggunak kata ‘itsm”
sebagai ganti kata “khamr” secara kiasan atau majaz, yang artinya bahwa
khamr itu bisa menimbulkan perbuatan dosa.[5]
2. Surat al-Baqarah ayat 219
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ
فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ
نَفْعِهِمَا وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ كَذَلِكَ
يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ.
Arinya : Mereka
bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu
terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya
lebih besar dari manfaatnya”. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka
nafkahkan. Katakanlah: “Yang lebih dari keperluan.” Demikianlah Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir,
Asbabun
Nuzul : Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dari Abu Hurairah, dia berkata:
“Tatkala Rasulullah SAW datang ke Madinah, beliau melihat para sahabat sedang
minum khamr (arak/ minuman yang memabukkan) dan bermain judi. Kemudian mereka
menanyakan kedua hal tersebut kepada Rasulullah, maka Allah menurunkan ayat
ini.[6]
Tafsir Ayat :
Maksudnya, kaum mukminin bertanya kepadamu
wahai Rasul tentang hukum khamr dan judi, di mana pada zaman jahiliyah kedua
hal tersebut sering dilakukan dan juga pada awal-awal Islam. Seolah-olah
terjadi kesulitan memahami kedua perkara tersebut. Karena itu, mereka bertanya
kepadamu tentang hukum-hukumnya. Maka Allah Ta’ala memerintahkan kepada NabiNya
untuk menjelaskan manfaat-manfaatnya dan kemudharatannya kepada mereka agar hal
tersebut menjadi pendahuluan untuk pengharamannya dan wajib meninggalkan kedua
perbuatan tersebut secara total.
Allah
mengabarkan bahwa dosa dan mudharat keduanya serta apa yang diakibatkan oleh
keduanya seperti hilangnya ingatan, harta dan menghalangi dari berdzikir kepada
Allah, dari shalat, (menimbulkan) permusuhan dan saling benci, adalah lebih
besar Didapatkan harta dengan berjual beli khamr atau memperolehnya dengan cara judi atau
kebahagiaan hati saat melakukannya.[7]
Dan
penjelasan ini merupakan pencegahan dari kedua perbuatan tersebut, karena
seorang yang berakal akan lebih memilih sesuatu yang kemaslahatannya lebih
besar, dan ia akan menjauhi suatu yang mudharatnya lebih besar. Akan tetapi,
ketika mereka sudah begitu terbiasa dengan kedua perkara tersebut dan sulit
untuk meninggalkannya secara total pada awal-awalnya, maka Allah memulai hal
tersebut dengan ayat ini sebagai pendahuluan menuju kepada pengharaman secara
mutlak yang disebutkan dalam firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya
(meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan
panah adalah perbuatan keji yang termasuk perbuatan setan.” (Al-Maidah: 90). Sampai firmanNya,”Berhentilah
kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (Al-Maidah:91)
Ini
adalah kasih sayang, rahmat dan kebijaksanaanNya. Oleh karena itu, ketika ayat
ini turun, Umar radhiallahu ‘anhu berkata,”Kami berhenti, kami berhenti” ( Diriwayatkan oleh Imam Ahmad 1/53, Abu Daud
3670, at-Tirmidzi 3049, an-Nasa’I 8/286, dishahihkan oleh al-Madiny dan
at-Tirmidzi, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya
2/87.).[8]
Khamr artinya adalah semua yang memabukkan lagi
menghilangkan akal pikiran dan menutupinya, dari apa pun macamnya. Sedangkan
judi adalah segala macam usaha saling mengalahkan yang di dalamnya terdapat
taruhan dari kedua belah pihak seperti dadu atau catur dan segala macam usaha
saling mengalahkan baik perkataan maupun perbuatan dengan taruhan, tentunya selain
dari perlombaan berkuda, unta dan memanah, karena hal-hal itu semua adalah
boleh karena hal-hal tersebut sangat membantu dalam jihad, karena itulah Allah
membolehkannya.
Pengetahuan dalam pengharaman khamr dilakukan karena khamr mengganggu
stabilitas akal dan mengilangkan fungsinya, sehingga bisa menimbulkan bahaya
besar terhadap tubuh, syaraf, akal, dan akhlak. Seperti pernyataan Dr. Muhammad
Washfi dalam bukunya al-Qur’an wa ath-Thibb, halaman 138 sebagai berikut
: “Khamr mempengaruhi pusat-pusat syaraf, merangsangnya pada kali pertama,
selanjutnya berubah menjadi kebekuan pada syaraf-syarafnya, dan berakhir dengan
pembiusan dan penghentian aksinya. Oleh karena itu khamr menyebabkan kematian
akibat pengaruh langsung penghentian pusat-pusat syaraf dalam tubuh. Keadan ini
dapat kita lihat dalam diri peminum khamr. Pada fase pertama ia akan kehilangan
sifat menjaga kehormatan diri dan rasa malu. Mulutnya mengucapkan hal-hal
seandainya akalnya mampu menahannya ia tidak akan mengucapkan-nya. Kemudian
timbullah perbuatan-perbuatan, gerakan-gerakan, tertawa dengan buruk dan tanpa
sebab. Dalam keadaan mabuk manusia seperti hewan yang hina dan melanggar
kehormatan dan agama. Ia amat mudah terjatuh dalam jurang kehinaan dan keburukan.
Kondisi seperti ini terjadi sesaat dan kemudian menjadi tak sadar.
Pada fase kedua, orang yang meminum khamr akan terganggu proses
berfikirnya, kehilangan perasaan, dan menampakkan diri dalam kebodohan yang
amat sangat. Pada fase ketiga, setelah racun mulai beroperasi di pusat-pusat
syaraf kehidupan dalam tubuh dan menumpulkan pekerjaannya, terjadilah kematian.
Kematian bisa disebabkan oleh khamr yang merusak proses bekerjanya pusat alat
pernafasan dan distribusi darah dalam tubuh.”[9]
3. Surat An-Nisaa’ ayat 43
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْرَبُوا
الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلا جُنُبًا
إِلا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى
سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ
فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ
وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا.
Artinya : Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu salat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga
kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu
dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan
jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air
atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka
bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu.
Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.
Asbabun Nuzul :
Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan al-Hakim, meriwayatkan bahwa Ali
berkata. “Pada suatu
hari abdurahman bin Auf membuatkan makanan untuk kami. Lalu dia mengundang kami
untuk makan dan menyediakan khamr sebagai minumannya. Lalu saya meminum khamr
itu. kemudian tiba waktu shalat dan orang-orang menyuruhku untuk menjadi imam.
Lalu saya membaca ayat :
(3) وَ نَحْنُ
أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُوْن (2) لا
أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ (1)قُلْ يَا
أَيُّهَا الْكَافِرُونَ
Katakan lah (Muhammad) “Wahai orang-orang
kafir! Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, dan kami menyembah apa
yang kalian sembah.
Lalu Allah menurunkan firman-Nya, “Wahai
orang yang beriman! Janganlah kamu mendekati sholat, ketika kamu dalam keadaan
mabuk, sampai kamu sadar apa yang kamu ucapkan.
Al-Faryabi, Ibnu Abi Hatim, dan Ibnul
Mundzir meriwayatkan bahwa Ali berkata, “Firman Allah, ’… dan jangan pula
(kamu hampiri masjid ketika kamu) dalam keadaan junub kecuali sekedar melewati
jalan saja,… (an-Nisaa’ : 43) turun pada seseorang yang melakukan
perjalanan kemudian dia junub lalu tayamum dan shalat setelahnya.”[10]
Tafsir
ayat :
Allah SWT, melarang orang-orang mukmin
melakukan shalat dalam keadaan mabuk yang membuat seseorang tidak menyadari apa
yang dikatakannya. Dan Allah melarang pula mendekati tempat shalat (yaitu
mesjid-mesjid) bagi orang yang mempunyai jinabat (hadas besar), kecuali jika ia
hanya sekedar melewatinya dari satu pintu ke pintu yang lain tanpa diam di
dalamnya. Ketentuan hukum ini terjadi sebelum khamar diharamkan secara tegas.[11]
Secara
umum ayat ini bermaksud untuk memberi peringatan kepada kaum mu’min untuk
menjauhi shalat jika ia dalam keadaan mabuk. Hal ini berbeda dengan tafsir ayat
sebelumnya, yaitu surat al-Baqarah ayat 219, dimana orang mu’min diwajibkan
mengerjakan sholat walaupun dalam keadaan mabuk setelah minum khamr. Karena
hukum wajibnya sholat lebih dulu dibandingkan kharamnya khamr bagi umat Muslim.
Namun
setelah ayat an-Nisa’ turun, para sahabat masih belum sepenuhnya bisa
meninggalkan khamr dalam kesehariannya, karena ayat tersebut hanya menyuruh mat
Muslim menjauhi sholat jika ia dalam keadaan mabuk. Jadi para sahabat meminum
khamr hanya pada waktu-waktu tertentu, seperti setelah waktu sholat Isya’ dan
shubuh. Karena diwaktu-waktu itu jarak waktu sholat masih relatif panjang untuk
menghilangkan efek dari khamr yang memabukkan dan menyebabkan umat Muslim meninggalkan
wajibnya sholat.
4. Surat
al-Ma’idah Ayat 90-91
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ
وَالْمَيْسِرُ وَالأنْصَابُ وَالأزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ
فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ.
إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ
بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ
وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ.
Artinya : Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk
perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan.
Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan
kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan
menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu
(dari mengerjakan pekerjaan itu).
(QS. Al-Maidah : 90-91)
Asbabun Nuzul :
Sa’ad r.a berkata, “Seorang sahabat Anshar membuat makanan dan mengundang
kami, maka kami minum khamr sebelum diharamkan sehingga mabuk, lalu
masing-masing berbangga terhadap kaumnya sendiri. seorang Anshar berkata,
“kamilah orang-orang yang lebih afdhol (utama)”. Kemudian orang Quraisy juga
berkata, “Kami yang lebih afdhol.” Tiba-tiba seorang dari kaum Anshor mengambil
tulang binatang yang sudah disembelih dan dipukulkan pada hidungnya. Maka
turunlah ayat 90-91 ini. (R. Muslim dan al-Baihaqi).
Ibn Abbas r.a berkata,
“Sesungguhnya turunnya ayat yang mengharamkan khamr mengenai kejadian dua suku
Anshar yang minum khamr, dan ketika telah mabuk yang satu mengganggu yang lain,
kemudian ketika sadar seorang melihat muka, kepala dan janggutnya bekas pukulan
yang berat sehingga ia berkata, “Saudaraku Fulan telah berbuat sedemikian
terhadapku, demi Allah andaikan ia sayang padaku, tentu ia tak akan berbuat
sedemikian”. Maka
mulailah timbul rasa dendamdan sakit hati, maka Allah menurunkan ayat ini.[12]
Dalam
kedua ayat tersebut Allah mempertegas diharamkannya arak dan judi yang diiringi
pula dengan menyebut berhala dan undian dengan dinilainya sebagai perbuatan
najis (kotor). Kata-kata His (kotor, najis) ini tidak pernah dipakai dalam
al-Quran, kecuali terhadap hal yang memang sangat kotor dan jelek.
Khamar dan judi
adalah berasal dari perbuatan syaitan, sedang syaitan hanya gemar berbuat yang
tidak baik dan mungkar. Justru itulah al-Quran menyerukan kepada umat Islam
untuk menjauhi kedua perbuatan itu sebagai jalan untuk menuju kepada kebagiaan.
Selanjutnya al-Quran menjelaskan
juga tentang bahaya arak dan judi dalam masyarakat, yang di antaranya dapat
mematahkan orang untuk mengerjakan sembahyang dan menimbulkan permusuhan dan
kebencian. Sedang bahayanya dalam jiwa, yaitu dapat menghalang untuk menunaikan
kewajiban-kewajiban agama, diantaranya ialah zikrullah dan sembahyang.
Terakhir
al-Quran menyerukan supaya kita berhenti dari minum arak dan bermain judi.
Seruannya diungkapkan dengan kata-kata yang tajam sekali, yaitu dengan
kata-kata: فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ؟
(apakah kamu tidak mau berhenti?). Jawab seorang mu'min terhadap seruan ini:
"Ya, kami telah berhenti, ya Allah!"[13]
BAB
III
KESIMPULAN
Pada umumnya,
orang Arab ketika itu (ketika masa Rasulullah) merasa bangga dan tinggi status
sosialnya bila berjudi dan memium khamr. Karena kedua hal tersebut dapat
mendorong seseorang untuki bersikap pemberani dan rela berkorban. Oleh karena
gaya hidup yang telah mendarah daging tersebut, maka mula-mula agama Islam
tidak langsung mengharamkan kedua hal tersebut, tetapi hanya memberikan isyarat
bahwa kedua hal tersebut tidak baik. Allah telah memberikan isyarat tentang
tidak baiknya khamr seperti yang terkandung dalam surat an-Nahl ayat 67.
Kemudian Allah
menjelaskan tentang bahaya meminum khamr dan berjudi dengan ungkapan yang lebih
jelas dalam surat al-Baqarah ayat 219, yang menjelaskan tentang kemudharatan
yang lebih besar dari pada manfaatnya dari perbuatan meminum khamr dan judi.
Dalam tahap berikutnya, khamr telah dilarang pada waktu-waktu tertentu. Seperti
yang dijelaskan oleh allah dalam surat an-Nisaa’ ayat 43. Berdasarkan ayat ini,
sebagian sahabat telah meninggalkan khamr pada waktu siang setelah dhuhur
sampai datangnya Isya’. Sedang sebagian yang lain mengetahui bahwa khamr
diharamkan secara mutlak, sehingga mereka telah meninggalkan sepenuhnya.
Kemudian setelah
umat muslim benar-benar merasakan efek negative dari khamr, yaitu timbulnya
permusuhan, maka Allah mengharamkan khamr secara tegas dengan turunnya surat
al-Maidah ayat 90-91. Setelah ayat tersebut dibacakan oleh Rasulullah, maka
para sahabat yang bertaqwa menjawab dengan suara yang keras, “Kami telah
berhenti dari perbuatan itu”.
Dari keterangan
diatas, jelaslah bahwa hukum syara’ itu ditetapkan secara bertahap, sesuai
dengan situasi dan kondisi. Semula suatu perbuatan itu dibiarkan hukumnya
sesuai dengan hukum yang ada. Kemudian barulah diharamkan dan mengganti
(menasakh) hukum yang dahulu dengan hukum yang datang kemudian. Setelah
syari’at Islam turun dengan sempurna, maka hukum yang telah ditetapkan tersebut
berlaku hingga hari kiamat.
DAFTAR
PUSTAKA
Ali
ash-Shabuni, Shofwah
at-Tafasir juz 1
(Beirut libanon: Maktabah al-Ashriyyah)
Ibnu Katsir, Terjemah singkat Tafsir
Ibnu Katsier, Jilid I, Terj. Salim Bahreisy. (Surabaya, PT Bina Ilmu, 1986)
Ibnu Katsir, Terjemah singkat Tafsir
Ibnu Katsier, Jilid II, Terj. Salim Bahreisy. (Surabaya, PT Bina Ilmu,
1990)
Ibnu Katsir, Terjemah singkat Tafsir
Ibnu Katsier, Jilid III, Terj. Salim Bahreisy. (Surabaya, PT Bina Ilmu,
1990)
Ibnu Katsir, Terjemah singkat Tafsir
Ibnu Katsier, Jilid IV, Terj. Salim Bahreisy. (Surabaya, PT Bina Ilmu, 1992)
Jalalludin Rahmat, Dahulukan Akhlak
diatas Fiqih, (Bandung, PT Mizan Publika 2012)
Jalaluddin as-Suyuthi, Asbabun Nuzul, Sebab
Turunnya Ayat al-Qur’an, Terj. Tim Abdul Hayyie, (Jakarta, Gema Insani,
2008)
Kadar M. Yusuf, Tafsir Ayat Ahkam, Tafsir Tematik ayat-ayat
Hukum, (Jakarta, Amzah 2011)
Syaikh Salim B, Ensiklopedi Larangan, (Niaga
Swadaya, 2010)
Syekh Fauzi Muhammad, Hidangan Islami : Ulasan
Komprehensif berdasarkan Syari’at dan sains Modern, Terj. Abdul Hayyi
al-Kattanie, (Jakarta, Gemma Insani Press, 1997)
[1] Kadar M. Yusuf, Tafsir
Ayat Ahkam, Tafsir Tematik ayat-ayat Hukum, (Jakarta, Amzah 2011), hlm.
171
[2] Ibnu Katsir, Terjemah
singkat Tafsir Ibnu Katsier, Jilid IV, Terj. Salim Bahreisy. (Surabaya, PT
Bina Ilmu, 1986) hlm. 576
[3] Jalalludin Rahmat, Dahulukan
Akhlak diatas Fiqih, (Bandung, PT Mizan Publika 2012) Hlm. 228.
[4] Jalalludin Rahmat, Dahulukan
Akhlak diatas Fiqih, (Bandung, PT Mizan Publika 2012) Hlm. 228.
[5] Syaikh Salim B, Ensiklopedi
Larangan, (Niaga Swadaya, 2010), hlm 177
[8] Ibnu Katsir, Terjemah
singkat Tafsir Ibnu Katsier, Jilid I, Terj. Salim Bahreisy. (Surabaya, PT
Bina Ilmu, 1986) hlm. 382
[9] Syekh Fauzi Muhammad,
Hidangan Islami : Ulasan Komprehensif berdasarkan Syari’at dan sains Modern,
Terj. Abdul Hayyi al-Kattanie, (Jakarta, Gemma Insani Press, 1997) Hlm. 69
[10] Jalaluddin as-Suyuthi,
Asbabun Nuzul, Sebab Turunnya Ayat al-Qur’an, Terj. Tim Abdul Hayyie,
(Jakarta, Gema Insani, 2008), hlm. 198
[11] Ibnu Katsir, Terjemah
singkat Tafsir Ibnu Katsier, Jilid II, Terj. Salim Bahreisy. (Surabaya, PT
Bina Ilmu, 1990) hlm. 162
[12] Ibnu Katsir, Terjemah
singkat Tafsir Ibnu Katsier, Jilid III, Terj. Salim Bahreisy. (Surabaya, PT
Bina Ilmu, 1990) hlm. 168
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Tafsir Ahkam: Hukum Khamr (Minuman Keras)
Ditulis oleh Vika
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke https://vikaardiansyah.blogspot.com/2014/03/tafsir-ahkam-hukum-khamr-minuman-keras.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Vika
Rating Blog 5 dari 5
0 komentar:
Post a Comment