MEMAHAMI AL-QUR’AN DAN AS-SUNNAH SESUAI PEMAHAMAN SALAFUS SHALEH (PARA SAHABAT, TABI’IN, TABIUT TABI’IN, DAN ORANG YANG MENGIKUTI MEREKA)
Tuesday, March 25, 2014
0
komentar
Memahami Al-Qur'an dan As-Sunnah Sesuai Pemahaman Salafus Shaleh (Para Sahabat, Tabi'in, Tabiut Tabi'in, dan Orang yang Mengikuti Mereka)
MEMAHAMI
AL-QUR’AN DAN AS-SUNNAH SESUAI PEMAHAMAN SALAFUS SHALEH (PARA SAHABAT, TABI’IN,
TABIUT TABI’IN, DAN ORANG YANG MENGIKUTI MEREKA)
Allah berfirman: “Orang-orang
yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang
Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik,
Allah ridha kepada mereka dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang
mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.
Itulah kemenangan yang besar.”
(QS. At Taubah:100)
Dari Abu Hurairah ia berkata: Telah bersabda Rasulullah SAW: “Kaum Yahudi telah terpecah menjadi 71 golongan atau 72
golongan dan Kaum Nashrani telah terpecah menjadi 71 golongan atau 72 golongan
dan ummatku akan terpecah menjadi 73 golongan". (HR. Tirmidzi, Hakim, Abu Dawud, Ibnu Majah,
Ahmad, dll. Tirmidzi berkata : Hadits ini hasan shahih. Hakim berkata
: Hadits ini shahih menurut syarat Muslim dan keduanya (yaitu : Bukhari, Muslim) tidak
mengeluarkannya, dan Imam Dzahabi menyetujuinya)
Tirmidzi meriwayatkan dalam kitabul Iman, bab
Maaja' Fiftiraaqi Hadzihi Ummah No. 2779 dari shahabat Abdullah bin 'Amr bin
Al-Ash dan Imam Al-Lalikaiy juga meriwayatkan dalam kitabnya Syarah Ushulil
I'tiqad Ahlis Sunnah wal Jama'ah I:99 No. 147 dari shahabat dan dari jalan yang
sama, dengan ada tambahan pertanyaan, yaitu : Siapakah golongan yang selamat
itu ?. Beliau SAW menjawab : "Ialah golongan yang mengikuti jejak-Ku dan jejak para
shahabat-Ku". (Tirmidzi mengatakan hadist ini hasan)
Abdullah
bin Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata kepada
orang-orang Khawarij: “Aku datang kepada kamu dari sahabat-sahabat Nabi,
orang-orang Muhajirin dan Anshar, dan dari anak paman Nabi dan menantu beliau
(yakni Ali bin Abi Thalib). Al Qur’an turun kepada mereka, maka mereka lebih
mengetahui tafsirnya daripada engkau. Sedangkan di antara kalian tidak ada
seorangpun (yang termasuk) dari sahabat Nabi.” (Riwayat Abdurrazaq di dalam Al
Mushonnaf, no. 18678, dan lain-lain. Lihat Limadza, hlm. 101-102; Munazharat
Aimmatis Salaf, hlm. 95-100. Keduanya karya Syaikh Salim Al Hilali).
Ibnu
Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “...Sesungguhnya
kalian akan menjumpai beberapa kaum yang mengaku mengajak kalian kepada kitab
Allah padahal mereka betul-betul telah melemparkan kitab itu ke belakang
punggung mereka. Maka wajib atas kalian untuk berilmu dan jauhilah oleh kalian
perbuatan bidah, memberat-beratkan diri (dalam beragama ini, pent) dan jauhilah
oleh kalian berdalam-dalam di dalam urusan agama serta wajib atas kalian berpegang
dengan yang terdahulu (yaitu salafus shalih). Penyimpangan dari pemahaman sahabat Nabi
Shallallahu Alaihi Wa Sallam terhadap Al Quran dan As-Sunnah berarti
penyimpangan dari ash-shirath al-mustaqim. Semakin jauh penyimpangan
itu semakin jauh pula pelakunya darinya. Orang yang menyimpang ini dinamakan
Ahlul Ahwa (pengekor Hawa Nafsu) atau dengan istilah lain Ahlul Bidah.” (Imam
Al-Lalikai meriwayatkan dalam kitabnya Syarh Ushul Itiqad Ahlus Sunnah wal
Jamaah, jilid 1 halaman 87 riwayat ke 108)
Imam Syafi’i berkata: ”Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memuji para
sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam dalam Al-Qur’an, Injil dan
Taurat. Kelebihan mereka disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
Salam tidak dimiliki oleh seorangpun selain mereka. Mereka telah menyampaikan
kepada kita sunnah Rasulullah. Telah mendampingi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa Salam dikala wahyu diturunkan, sehingga mereka mengetahui apa yang
diinginkan oleh Rasulullah, baik yang umum maupun yang khusus, baik perintah,
larangan, maupun bimbingan. Mereka telah mengetahui sunnah Rasulullah, sehingga
mereka lebih unggul baik dalam ilmu, ijtihad, kewara’an, maupun pikiran.
Pendapat mereka lebih baik kita ambil dibandingkan dengan pendapat kita”. (Dikutip
oleh Al-Baihaqi dalam Al-Risalah Al-Qadimah dari Al-Hasan bin Muhammad
Az-Za’farani)
Imam
Asy-Syathibi (ulama madzhab
Maliki) berkata: “Betapa sering engkau dapati ahli
bid’ah dan penyesat umat mengemukakan dalil dari Al-Qur’an dan hadits dengan
memaksakannya agar sesuai dengan pemikiran mereka dan menipu orang-orang awam
dengannya. Lucunya mereka menganggap bahwa diri mereka di atas kebenaran. Oleh
karenanya, maka semestinya bagi setiap orang yang berdalil dengan dalil syar’i
agar memahaminya seperti pemahaman
para pendahulu
(sahabat) dan praktek amaliyah
mereka, karena itulah jalan yang benar dan lurus”. (Al-Muwafaqot Fi Ushul Syari’ah
3/52)
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah (ulama madzhab Hanbali/guru Ibnul
Qayyim, Ibnu Katsir, Adz-Dzahabi, Ibnu Abdul Hadi) berkata: “Apabila para sahabat, tabi’in dan para
imam memiliki penafsiran ayat,
kemudian datang suatu kaum yang menafsirkan ayat tersebut dengan penafsiran
baru untuk menguatkan pemikiran yang dianutnya, dan pemikiran tersebut bukanlah
termasuk madzhab sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik,
maka sesungguhnya mereka telah menyerupai kaum Mu’tazilah dan selainnya dari
kalangan ahli bid’ah dalam masalah seperti ini. Singkat kata, siapa saja yang
menyimpang dari madzhab dan penafsiran para sahabat dan tabiin, maka dia salah
bahkan terjatuh kebid’ahan.” (Majmu’ Fatawa 13/361, Muqoddimah Tafsir hal.124-125 Syarh
Ibnu ‘Utsaimin)
Ibnul
Qoyyim Al-Jauziyyah (ulama madzhab Hanbali/guru Ibnu
Rajab) berkata: “Jeleknya pemahaman adalah sumber segala kebid’ahan dan
kesesatan yang tumbuh dalam Islam, bahkan sumber segala kesalahan, apalagi bila
dibarengi dengan jeleknya maksud tujuan. Tidaklah kesesatan kaum Qodariyah,
Murji’ah, Khawarij, Mu’tazilah, Jahmiyyah dan seluruh ahli bid’ah kecuali
karena jeleknya pemahaman terhadap Al-Qur’an dan Sunnah, sehingga agama yang
banyak dianut mayoritas manusia adalah hasil pemahaman ini. Adapun pemahaman sahabat dan orang yang
mengikuti mereka ditinggalkan dan tidak dianggap sedikitpun.” (Kitab Ar-Ruuh hal.113-114)
Abu Hasan
Al-Asy’ari berkata: “Ketahuilah, bahwa
segolongan besar orang-orang yang tersesat dari kebenaran – dari para pengikut
Mu’tazilah dan serta kaum Qadariyah – telah begitu saja mengikuti hawa nafsu
mereka dengan mengikuti tradisi para pemimpinnya dan nenek moyangnya sampai-sampai
mereka berani
menakwilkan Al-Qur’an berdasarkan kehendaknya sendiri, tanpa alasan-alasan yang
berlandaskan Kitabullah ataupun Sunnah Rasul-Nya, bahkan tidak juga
bersumberkan pandangan ulama salaf yang dahulu. Dengan begitu mereka
mengingkari riwayat-riwayat yang disampaikan para sahabat Nabi saw tentang
hal-hal yang berkaitan dengan ‘masalah melihat Allah dengan mata kepala’.
Tentang masalah ini sebenarnya telah beredar riwayat-riwayat yang
bermacam-macam, baik atsar para sahabat ataupun khabar para ulama. Tetapi
mereka menyangkal adanya syafaat
Rasulullah saw bagi orang-orang muslim yang berdosa, dan mereka mengingkari
riwayat-riwayat yang berkaitan dengan masalah ini, yang disampaikan oleh ulama
salaf yang dahulu.” (Al-Ibanah An-Ushul Ad-Diyanah oleh Abu Hasan Al-Asyari)
Ibnu Abil
Izzi Al-Hanafi (ulama madzhab Hanafi/murid Ibnu
Katsir) berkata: “Kekeliruan dalam memahami apa yang datang dari Allah dan
Rasul-Nya, merupakan sumber segala bentuk bid'ah dan kesesatan yang muncul
dalam agama Islam.” (Syarh Al-Aqidah Ath-Thahawiyah 2/580)
Ibnu Abil
Izzi Al Hanafi berkata: “Walaupun
dia mengaku atau menganggap
mengambil dari Kitabullah tetapi tidak menerima penafsiran Kitabullah dari
hadits-hadits Rasul, tidak melihat hadits-hadits, tidak pula melihat perkataan para shahabat
dan pengikut mereka
yang mengikuti dengan baik
(tabi’in) yang disampaikan
kepada kita oleh orang yang terpercaya yang dipilih oleh para pakar. Karena
para shahabat tidak hanya meriwayatkan matan Al-Qur’an saja tetapi juga
menyampaikan maknanya. Mereka tidak belajar Al-Qur’an seperti anak kecil,
tetapi mempelajarinya dengan makna-maknanya.” (Syarh
Al-Aqidah Ath-Thahawiyyah oleh Ibnu Abil Izzi Al Hanafi halaman 212
cetakan ke-4, dinukil dari Manzilatus Sunnah fil Islam)
Muhammad As-Safariny Al-Hambaly berkata : “Termasuk hal yang mustahil orang-orang
belakangan (khalaf) lebih berilmu dari para salaf
sebagaimana yang dinyatakan oleh sebagian orang yang tidak memiliki penelitian
dari orang yang tidak menghargai salaf
dan tidak pula mengenal Allah dan Rasulullah dan tidak juga kaum mukminin
dengan sebenarnya yang wajib mereka ketahui darinya bahwa jalan prinsip/manhaj salaf lebih selamat dan jalan
khalaf lebih berilmu (ilmiyah) dan lebih bijaksana. Mereka hanyalah mendasarkan pernyataan itu di atas prasangka bahwa
manhaj salaf (thariqatus salaf) hanya sekedar iman kepada
lafadz-lafadz al-qur'an dan hadits tanpa pemahaman, dan itu sama dengan kedudukan orang-orang buta huruf
(umiyin) sedangkan manhaj khalaf (thariqatul khalaf) adalah menampakkan
makna-makna nash yang dipalingkan dari hakikatnya dengan beraneka ragam majaz
dan bahasa-bahasa yang sulit dipahami, prasangka rusak inilah yang
mengakibatkan munculnya slogan tersebut yang kandungannya meninggalkan Islam.”
(Lawami' Al-Anwar Al-Bahiyyah Wa Sawathi’ Al-Asrar Al-Atsariyyah 1/25)
Imam Suyuthi (Ulama
Syafi'iyyah) menukil perkataan Ibnu Taimiyyah: “Barangsiapa yg berpaling dari madzhab sahabat dan
tabi'in dan tafsir mereka kepada yg menyelisihinya, maka dia telah
salah bahkan sebagai ahli bid'ah.” (Al-Itqan fi 'Ulumil Qur'an juz II halm. 178
bagian Ilmu Qur'an yg ke-78)
Imam Ahmad
bin Hambal (imam madzhab) berkata: “Pokok-pokok sunnah menurut kami
adalah: berpegang
kepada apa yang para sahabat Rasulullah berada di atasnya, meneladani
mereka, meninggalkan seluruh bid’ah. Dan seluruh bid’ah merupakan kesesatan …”
[Riwayat Al Lalikai; Al Muntaqa Min Syarh Ushulil I’tiqad Ahlis Sunnah Wal
Jama’ah, hlm. 57-58].
Muhammad As-Safariny Al-Hambaly berkata dalam Lawami’ Al-Anwar Al-Bahiyyah Wa Sawathi’
Al-Asrar Al-Atsariyyah jilid 1 hal. 20 : “Yang diinginkan dengan madzhab salaf yaitu apa-apa yang para
shahabat yang mulia -mudah-mudahan Allah meridhoi mereka- berada di atasnya dan
para Tabi’in yang mengikuti mereka dengan baik dan yang mengikuti mereka dan
para Imam agama yang dipersaksikan keimaman mereka dan dikenal perannya yang
sangat besar dalam agama dan manusia menerima perkataan-perkataan mereka…”.
Hasan Al Bashri (tabi’in) berkata: “Seandainya
seseorang mendapatkan generasi salaf
yang pertama kemudian dia yang dibangkitkan (dari kuburnya) pada hari ini,
sementara orang tersebut tidak mengenal tentang Islam beliaupun meletakkan
tangannya di atas pipinya seraya berkata “kecuali sholat saja.” Kemudian dia
berkata: “Demi Allah, tidaklah yang demikian itu merupakan suatu bentuk
keterasingan bagi setiap orang yang hidup dan dia tidak mengetahui tentang
generasi Salafush Shalih.
Setelah itu, ia melihat orang ahlul bid’ah mengajak kepada bid’ahnya dan
melihat orang ahlul dunia menyeru kepada dunianya. Maka orang (yang dalam
keterasingan itu) dipelihara oleh Allah dari fitnah tersebut. Allah menjadikan
hatinya rindu kepada Salafush Shalih
itu, ia bertanya tentang jalan mereka, menapaki jejak mereka, dan mengikuti
jalan mereka, maka dari itu pasti Allah akan memberikan kepadanya pahala yang
besar. Oleh karena itu, jadilah kalian seperti itu, insya Allah.” (Al Bida’ wan
Nahyu ‘anha oleh Ibnu Wadhdhah no. 178)
Imam As-Suyuthi
rahimahullah (849-911) dalam Al-Amru Bil Ittiba’ Wan Nahyu ‘An Al-Ibtida’ hal
8: “Maka bagaimana kalau
mereka melihat terhadap apa yang diada-adakan oleh orang-orang pada masa ini,
yang padanya ada tambahan-tambahan yang jelek. Maka berhati-hatilah saudaraku,
dan teladanilah salaf sholih.”
Imam Abu Hanifah (imam madzhab/Tabi’in) berkata: “Wajib bagimu untuk
mengikuti atsar dan jalan yang ditempuh oleh salaf, dan hati-hatilah dari segala yang diada-adakan dalam
agama, karena ia adalah bid’ah.” (Shaunul Manthiq karya As Suyuthi hal. 322
dinukil dari Kitab Al Marqat fii Nahjis Salaf Sabilun Najah hal. 54)
Al-Auza'i berkata :
"Bersabarlah dirimu di atas sunnah, berhentilah sebagaimana mereka
berhenti, dan katakanlah seperti apa yang mereka katakan serta cegahlah dari
apa yang mereka cegah. Telusurilah jejak salafush
sholeh". (Syarhu ushul I'tiqod ahlis sunnah wal jama'ah 1/154 oleh
Al-Lalika'i)
Al-Auza’i berkata:
“Wajib bagimu untuk mengikuti jejak salaf walaupun banyak orang menolakmu, dan
hati-hatilah dari pemahaman/pendapat tokoh-tokoh itu walaupun mereka
mengemasnya untukmu dengan kata-kata (yang indah).” (Asy-Syari’ah karya Imam Al
Ajurri, hal. 63)
Al-Lalika`i dalam Syarah Ushul I’tiqod Ahlis Sunnah Wal Jama’ah jilid 2
hal.334 ketika beliau membantah orang yang mengatakan bahwa Al-Quro dialah yang
berada di langit beliau berkata : “Maka dia telah menyelisihi Allah dan
Rasul-Nya dan menolak mukjizat Nabi-Nya dan menyelisihi para salaf dari kalangan Shahabat dan
Tabi’in dan orang-orang setelahnya dari para ‘ulama ummat ini.”
Asy-Syihristany berkata
dalam Al-Milal Wa An-Nihal jilid 1
hal.200 : “Kemudian mengetahui letak-letak ijma’ Shahabat, Tabi’in, dan Tabi’ut
Tabi’in dari Salafus Sholeh
sehingga ijtihadnya tidak menyelisihi ijma’.”
Ibnu Abil ‘Izzi al Hanafi dalam
Syarah Al ‘Aqidah Ath-Thohawiyah hal.196 tentang perkataan Ath-Thohawy
bahwasanya Al-Qur`an diturunkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala : Yakni
merupakan perkataan para shahabat dan yang mengikuti mereka dengan baik dan
mereka itu adalah Salafus Sholeh.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Telah diketahui bahwa karakter ahlul
ahwa’ (pengekor hawa nafsu) ialah meninggalkan atau tidak mengikuti generasi Salaf.” (Majmuu’ Fataawa Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah, IV/155)
Salah satu syi’ar Ahlus Sunnah wal Jama’ah ialah:
mengikuti Salafush Shalih dan
meninggalkan segala perkara yang bid’ah dan diada-adakan dalam agama.
(al-Hujjah fii Bayaanil Mahajjah, I/364, karya Imam Abul Qasim al-Ashbahani rahimahullah).
Ibnu Hajar Al-Qathari berkata: “Atas dasar ini, yang dimaksud dengan madzhab as-Salaf
ialah ajaran yang dipegang teguh oleh para Sahabat yang mulia (keridhaan Allah
atas mereka), para Tabi’in, para Tabi’it Tabi’in, dan para imam yang terdiri
dari mereka yang telah diakui keimanannya dan telah dikenal kedudukannya dalam
agama ini. Para imam yang ucapan dan pandangannya telah dikutip dan diambil
oleh para ulama khalaf, seperti imam yang empat (Imam Abu Hanifah, Imam Malik
bin Anas, Imam Asy-Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullahu-pen), Imam
Sufyan Ats-Tsauri, Al-Laits bin Tsa’ad, Abdullah bin Mubarak, An-Nakha’i,
Bukhari, Muslim, dan seluruh ulama hadits yang tidak dituduh atau dinyatakan
pembawa bid’ah atau dikenal dengan gelar yang tidak diridhai seperti Khawarij,
Rafidhah, Murji’ah, Jabariyah, Jahmiyah, dan Mu’tazilah.” (Al-Aqiidatus
Salafiyyah bi Adillatihal ‘Aqliyyah wan Naqliyyah oleh Ibnu Hajar Al-Qathari)
As-Sam'ani (wafat 562 H) berkata: "Syi'ar Ahlus Sunnah adalah
mengikuti manhaj as-salafush shalih
dan meninggalkan segala yang diada-adakan (dalam agama)." (Al-Intishar li
Ahlil Hadits, Muhammad bin 'Umar Bazmul hal. 88).
Imam Asy-Syathibi berkata: "Segala apa yang menyelisihi manhaj salaf maka ia adalah
kesesatan." (Al-Muwafaqat 3/284).
Al-Ghazali rahimahullah memberikan pengertian terhadap kata As-Salaf
dalam Iljamul 'Awwam ‘An ‘ilmil Kalam hal. 62: “Yang saya maksudkan dengan salaf
adalah madzhabnya para shahabat dan tabi'in.”
Al-Baihaqi rahimahullah dalam Syu'abul Iman (2/251) tatkala
menyebutkan pembagian ilmu, beliau menyebutkan diantaranya: “Dan mengenal perkataan-perkataan para salaf
dari kalangan shahabat, tabi'in dan orang-orang setelah mereka”.
Imam Nawawi (631-676 H) berkata di dalam Al-Adzkar : “Ketahuilah, bahwa
kebenaran yang terpilih adalah apa yang para salaf Radhiyallahu ‘anhum berada di atasnya.”
Imam Nawawi rahimahullah
dalam Muqaddimah Al-Majmu 1/27 ketika menceritakan tentang Kitab beliau
Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab mengatakan: “Ketahuilah bahwa mengenal madzhab-madzhab salaf dengan dalil-dalilnya
termasuk perkara yang dibutuhkan … dan dengan menyebutkan madzhab-madzhab
mereka dengan dalil-dalilnya, orang yang mapan akan mengetahui madzhab-madzhab
itu sesuai dengan kedudukannya yang sesuai, mengetahui pendapat yang rojih
(kuat) dari yang lemah, perkara-perkara yang rumit akan menjadi jelas bagi dia
dan orang lain, akan nampak faedah-faedah berharga, dan orang yang
memperhatikannya akan terlatih dengan soal jawab, akalnya akan terbuka, dan dia
akan mempunyai keistimewaan di sisi orang-orang yang berakal. Dia juga akan
mengetahui hadits-hadits yang shohih dari hadits yang dho’if, mengetahui dalil
yang kuat dari yang lemah. …”
Urutan metode
tafsir Al-Qur’an yang digunakan oleh Ibnu Katsir, yaitu:
1.
Ayat
Al-Qur’an ditafsirkan menggunakan ayat Al-Qur’an yang lain
2.
Ayat
Al-Qur’an ditafsirkan menggunakan hadits Nabi
3.
Ayat
Al-Qur’an ditafsirkan menggunakan perkataan para sahabat, tabi’in, tabiut
tabi’in, dan orang-orang yang mengikuti mereka
4.
Ayat
Al-Qur’an ditafsirkan menggunakan kaidah bahasa.
Ibnu Katsir
meletakkan metode bahasa dalam menafsirkan Al-Qur’an pada urutan yang terakhir.
Syaikh
Albani berkata : “Atas dasar itu jelaslah bahwasannya seseorang jika semakin
alim dalam Sunnah, dia lebih pantas untuk memahami Al-Qur’an dan mengambil
istinbath hukum darinya dibandingkan orang yang bodoh tentang sunnah. Lalu
bagaimana dengan orang yang tidak menganggap Sunnah dan tidak pula meliriknya
sama sekali ? Oleh karena itu sudah merupakan suatu kaidah yang disepakati oleh
ahli ilmu bahwasannya Al-Qur’an ditafsirkan dengan As-Sunnah, kemudian dengan
perkataan shahabat dan seterusnya. Dari sini jelas bagi kita sebab-sebab
kesesatan tokoh-tokoh Ahli Kalam dulu dan sekarang serta perbedaan mereka
dengan as-salafush-shalih...”
(Manzilatus Sunnah fil Islam oleh Syaikh Albani)
Umar bin Khaththab radliyallaahu ‘anhu berkata : “Akan datang sekelompok manusia yang akan membantah kamu
dengan ayat Al-Qur’an yang mutasyabih. Maka bantahlah mereka dengan As-Sunnah.
Karena orang-orang yang berpegang teguh pada As-Sunnah lebih mengerti tentang
Kitabullah.” (Diriwayatkan oleh Al-Ajurri dalam
Asy-Syari’ah 1/175 no. 99, Muassasah Qurthubah;
diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam Al-Ibanah 1/250-251 no. 83-84,
Daarur-Rayah; diriwayatkan oleh
Ad-Darimi I/49; diriwayatkan oleh
Al-Lalika-i dalam Syarh Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah I/39 no. 202,
dengan sanad shahih).
Sungguh ironis
sekali jika sekarang ini banyak ditemukan orang-orang yang menafsirkan
Al-Qur’an hanya menggunakan kemampuan bahasanya saja. Ia hanya berbekal dengan
terjemahan Al-Qur’an tanpa mau menilik hadits Nabi dan perkataan para salafus
shaleh. Ia hanya menerima hadits Nabi yang menurut mereka cocok dengan hawa
nafsu/akal mereka, adapun yang menurut mereka tidak cocok maka ia buang ke
balik punggung mereka. Para sahabat saja bisa salah dalam menafsirkan kata
“bangkrut” dalam hadits Muflis, salah menafsirkan benang putih dan benang hitam
sebagai tanda batas akhir sahur, salah menafsirkan kata “dzalim” dalam QS.
Al-An’am ayat 82, dll. Kemudian Nabi memberi tahu tafsir yang benar mengenai
ayat/hadits tersebut. Dalam menafsirkan arti dzalim dalam QS. Al-An’am ayat 82,
Nabi menggunakan ayat Al-Qur’an dari Surat Luqman bahwa yang dimaksud dzalim
dalam ayat itu adalah syirik. Para sahabat saja bisa salah dalam memahami
tatkala mereka hanya menafsirkan menggunakan metode bahasa saja, padahal ayat
Al-Qur’an dan hadits turun menggunakan bahasa mereka.
Syaikh
Albani berkata: “Tidak mungkin seorang memahami Al-Qur’an walaupun dia mahir
dalam bahasa Arab dan sastra-sastranya jika tidak dibantu dengan Sunnah Nabi,
baik qauliyyah maupun fi’liyyah. Karena dia tidak mungkin lebih alim atau lebih
mahir dalam bahasa Arab daripada para shahabat Nabi yang Al-Qur’an turun dengan
bahasa mereka dan pada waktu tersebut belum tercampur bahasa ‘ajam, awam, dan
lahn (kesalahan bahasa). Namun walaupun demikian, mereka para shahabat telah
salah dalam memahami ayat-ayat yang telah lewat, ketika mereka hanya bersandar
dengan bahasa mereka saja.” (Manzilatus Sunnah fil Islam)
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: MEMAHAMI AL-QUR’AN DAN AS-SUNNAH SESUAI PEMAHAMAN SALAFUS SHALEH (PARA SAHABAT, TABI’IN, TABIUT TABI’IN, DAN ORANG YANG MENGIKUTI MEREKA)
Ditulis oleh Vika
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke https://vikaardiansyah.blogspot.com/2014/03/memahami-al-quran-dan-as-sunnah-sesuai.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Vika
Rating Blog 5 dari 5
0 komentar:
Post a Comment