Makalah Filsafat sebagai Ilmu Pengetahuan
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Falsafah atau filsafat dalam bahasa
Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab. yang juga diambil dan
bahasa Yunani; philosophia. Kala ini berasal dan dua kata Philo dan
Sophia. Philo = lImu atau cinta dan Sophia = kebijaksanaan. Sehingga
arti harfiahnya adalah ilmu tentang kebijaksanaan ataupun seseorang yang
cinta kebijakan.
Definisi kata filsafat bisa dikatakan
merupakan sebuah problem falsafi pula. Tetapi, paling tidak bisa
dikatakan bahwa “filsafat” adalah studi yang mempelajari seluruh
fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis. (Irmayanti
Meliono, dkk. 2007. MPKT Modul l .Jakarta: Lembaga Penerbitan FEUI. hal.
1). Terlepas dan berbagai definisi yang berusaha menerjemahkan Filsafat
secara global. Pada dasarnya Filsafat selain membahas dan menyimpulkan
sesuatu yang menjadi dasar. Filsafat adalah ibu dari segala ilmu yang
hadir di bumi ini. Logika dan perasaan meliputi segenap ruang Filsafat,
sehingga memerlukan konsentrasi yang lebih untuk memahaminya lebih dan
sekedar sebuah ilmu biasa.
Pengontokan kategori Filsafat sebetulnya
terjadi belakangan ini. Karena pada intinya pembahasan yang dibahas
dalam setiap kategori filsafat, berpegang pada penerjemahan dari dasar
pijakan setiap elemen ilmu. Menurut salah satu pemerhati filsafat, bahwa
filsafat adalah sebuah ilmu yang membahas mengenai ontologi
(keberadaan), epistemonology (sumber atau dasar), dan aksioiogi (nilai
atau norma) dan sesuatu. Berdasarkan pijakan itu, dikemudian hari, maka
munculah berbagai klasifikasi Filsafat berdasarkan lingkup yang lebih
kecil, seperti hadirnya Filsafat Timur atau Filsafat Islam.
Sejarah awal tumbuhnya Filsafat berasal
dari Yunani pada sekitar abad ke 7 SM. Tentu saja ada nama-nama seperti
Sokrates, kemudian Plato sebagai murid Sokrates, dan Aristoteles sebagai
murid Plato. Namun ada juga yang beranggapan bahwa Filsafat lahir di
bumi barat, bahkan pada nusa sebelum era Sokrates. Ada beberapa tokoh
yang disebutkan pada zaman ini diantaranya adalah seperti Thales,
Anaximander dan Phytagoras.
Keakuratan sejarah Filsafat sepertinya
tidak menjadi halangan untuk perkembangan ilmu ini. Bahkan hingga saat
ini, ada istilah Filsafat kontemporer yang tumbuh di era Jean Paul
Sartre atau Jurgen Habermas. Dan dari semua Filsafat yang kita kenal
dengan segala ragam coraknya, ada satu inti yang dapat kita simpulkan.
Bahwa berfilsafat berarti mencari kebenaran. Lalu akankah kita temukan
kebenaran itu (?) Ataukah kita akan berpegang pada kesimpulan Sokrates,
bahwa kebenaran hakiki akan kita temui saat nyawa kita meregang dari
jasadnya. Dan kita akan bertemu Sang Kebenaran.
Filsafat ilmu secara umum dapat dipahami
dari dua sisi, yaitu sebagai disiplin ilmu dan sebagai landasan
filosofis bagi proses keilmuan. Sebagai sebuah disiplin ilmu, filsafat
ilmu merupakan cabang dari ilmu filsafat yang membicarakan obyek khusus,
yaitu ilmu pengetahuan yang memiliki sifat dan karakteristik tertentu
hampir sama dengan filsafat pada umumnya. Sementara itu, filsafat ilmu
sebagai landasan filosofis bagi proses keilmuan, ia merupakan kerangka
dasar dari proses keilmuan itu sendiri. Secara sederhana, filsafat dapat
diartikan sebagai berfikir menurut tata tertib dengan bebas dan
sedalam-dalamnya, sehingga sampai ke dasar suatu persoalan, yakni
berfikir yang mempunyai ciri-ciri khusus, seperti analitis, pemahaman
deskriptif, evaluatif, interpretatif dan spekulatif. Sejalan dengan ini,
Musa Asy’ari menyatakan bahwa filsafat adalah berfikir bebas, radikal,
dan berada pada dataran makna. Bebas artinya tidak ada yang
menghalang-halangi kerja pikiran. Radikal artinya berfikir sampai ke
akar-akar masalah (mendalam) bahkan sampai melewati batas-batas fisik
atau yang disebut metafisis. Sedang berfikir dalam tahap makna berarti
menemukan makna terdalam dan suatu yang terkandung didalamnya. Makna
tersebut bisa berupa nilai-nilai seperti kebenaran, keindahan maupun
kebaikan.
Menurut M. Amin Abdullah, filsafat bisa
diartikan: (1) sebagai aliran atau hasil pemikiran, yakni berupa sistem
pemikiran yang konsisten dan dalam tarap tertentu sebagai sistem
tertutup (closed system), dan (2) sebagai metode berfikir, yang dapat
dicirikan: a0 mencari ide dasar yang bersifat fundamental (fundamental
ideas), b) membentuk cara berfikir kritis (critical thought), dan c)
menjunjung tinggi kebebasan serta keterbukaan intelektual (intelectual
freedom). Sebagai sebuah cabang filsafat, kurang lebih sudut pandang
inilah, filsafat ilmu melihat ilmu-ilmu sebagai obyek kajiannya.
Karenanya filsafat ilmu bisa juga disebut sebagai bidang yang unik,
sebab yang dipelajari adalah dirinya sendiri.
Para ahli tampak beraneka ragam dalam
memberikan definisi tentang filsafat ilmu, antara lain : Lewis White
Beck menulis, “Philosophy of science questions and evaluates the methods
of scientific thinking tries to determine the value and significance of
scientific enterprise as a whole.” Peter A. Angeles, sebagaimana
dikutip The Liang Gie, menjelaskan bahwa filsafat ilmu merupakan suatu
analisis dan pelukisan tentang ilmu dari berbagai sudut tinjauan,
termasuk logika, metodologi, sosiologi, sejarah ilmu dan lain-lain.
Sementara itu Cornelis A Benyamin mendefinisikan filsafat ilmu sebagai
disiplin filsafat yang merupakan studi kritis dan sistematis mengenai
dasar-dasar ilmu pengetahuan, khususnya yang berkaitan dengan
metode-metode, konsep-konsep, praduga-praduganya, serta posisinya dalam
kerangka umum cabang-cabang intelektual. Berdasarkan beberapa pengertian
diatas, dapat dipahami bahwa filsafat ilmu adalah segenap pemikiran
reflektif, radikal dan mendasar atas berbagai persoalan mengenai ilmu
pengetahuan, landasan dan hubungannya dengan segala segi kehidupan
manusia.
B. Rumusan Masalah
- Apa-apa saja yang termasuk objek filsafat ?
- Metode-metode apa saja dalam filsafat ?
- Bagaimana sistem dalam filsafat ?
- Bagaimana kebenaran dalam filsafat ?
C. Manfaat
- Agar mahasiswa mengetahui objek yang terkandung dalam filsafat.
- Agar mahasiswa mengetahui metode-metode yang terdapat dalam filsafat
- Agar mahasiswa mengetahui sistem dalam filsafat
- Agar mahasiswa tahu tentang kebenaran dalam filsafat
BAB II
FILSAFAT SEBAGAI ILMU PENGETAHUAN
A. Obyek Filsafat
Pada dasarnya setiap ilmu mempunyai dua
macam obyek, yaitu obyek material dan obyek formal. Obyek material
adalah sesuatu yang dijadikan sasaran penyelidikan, seperti tubuh adalah
obyek material ilmu kedokteran. Adapun obyek formalnya adalah metode
untuk memahami obyek material tersebut, seperti pendekatan induktif dan
deduktif.
Filsafat sebagai proses berfikir yang
sistematis dan radikal juga memiliki obyek material dan obyek formal.
Obyek material filsafat adalah segala yang ada, baik mencakup ada yang
tampak maupun ada yang tidak tampak. Ada yang tampak adalah dunia
empiris, sedang ada yang tidak tampak adalah alam metafisika. Sebagian
filosuf membagi obyek material filsafat atas tiga bagian, yaitu: yang
ada dalam alam empiris, yang ada dalam alam pikiran, dan yang ada dalam
kemungkinan. Adapun obyek formal filsafat adalah sudut pandang yang
menyeluruh, radikal, dan rasional tentang segala yang ada.
Dalam perspektif ini dapat diuraikan
bahwa filsafat ilmu pada prinsipnya memiliki dua obyek substantif dan
dua obyek instrumentatif, yaitu:
Obyek Subtantif, yang terdiri dari dua hal:
1. Fakta (Kenyataan)
Yaitu empiri yang dapat dihayati oleh manusia. Dalam memahami fakta
(kenyataan ini ada beberapa aliran filsafat yang memberikan pengertian
yang berbeda-beda, diantaranya adalah:
1) Positivisme
a) Hanya mengakui penghayatan yang empirik dan sensual
b) Sesuatu sebagai fakta apabila ada korespondensi antara yang sensual satu dengan yang sensual lainnya
c) Data empirik sensual tersebut harus obyektif tidak boleh masuk subyektifitas peneliti
d) Fakta itu yang faktual ada
2) Phenomenologi:
a) Fakta bukan sekedar data empirik
sensual, tetapi data yang sudah dimaknai atau diinterpretasikan,
sehingga ada subyektifitas peneliti. Tetapi subyektititas disini tidak
berarti sesuai selera peneliti, subyektif disini dalam arti tetap
selektif sejak dan pengumpulan data, analisis sampai pada kesimpulan.
Data selektifnya mungkin berupa ide , moral dan lain-lain.
b) Orang mengamati terkait langsung dengan perhatiannya dan juga terkait pada konsep-konsep yang dimiliki
c) Kenyataan itu terkonstruk dalam moral.
3) Realisme:
a) Sesuatu itu sebagai nyata apabila ada korespondensi dan koherensi antara empiri dengan skema rasional.
b) Mataphisik sesuatu sebagai nyata apabila ada koherensi antara empiri dengan yang obyektif universal
c) Yang nyata itu yang riil exsist dan terkonstruk dalam kebenaran obyektif
d) Empiri bukan sekedar empiri sensual yang mungkin palsu, yang mungkin memiliki makna lebih dalam yang beragam.
e) Empiri dalam realisme memang mengenai hal yang nil dan memang secara substantif ada
f) Dalam realisme metaphisik skema rasional dan paradigma rasional penting
g) Empiri yang substantif riil baru dinyatakan ada apabila ada koherensi yang obyektif universal
4) Pragmatis :
Yang ada itu yang berfungsi, sehingga
sesuatu itu dianggap ada apabila berfungsi. Sesuatu yang tidak berfungsi
keberadaannya dianggap tidak ada.
5) Rasionalistik :
Yang nyata ada itu yang nyata ada, cocok dengan akal dan dapat dibuktikan secara rasional atas keberadaanya
2. Kebenaran
1) Positivisme:
a) Benar substantif menjadi identik dengan benar faktual sesuatu dengan empiri sensual
b) Kebenaran pisitivistik didasarkan pada diketemukannya frekwensi tinggi atau variansi besar
c) Bagi positivisme sesuatu itu benar apabila ada korespondensi antara fakta yang satu dengan fakta yang lain
2) Phenomenologi:
a) Kebenaran dibuktikan berdasarkan
diketemukannya yang esensial, pilah dan yang non esensial atau eksemplar
dan sesuai dengan skema moral tertentu
b) Secara esensial dikenal dua teori kebenaran, yaitu teori kebenaran korespondensi dan teori kebenaran koherensi
c) Bagi phenomenologi, phenomena baru dapat dinyatakan benar setelah diuji korespondensinya dengan yang dipercaya.
Realisme Metaphisik : Ia mengakui kebenaran bila yang faktual itu koheren dengan kebenaran obyektif universal
3) Realisme
a) Sesuatu itu benar apabila didukung teori dan ada faktanya
b) Realisme hart, menuntut adanya
konstruk teori (yang disusun deduktif probabilisti) dan adanya empiri
teerkonstruk pula Islam : Sesuatu itu benar apabila yang empirik faktual
koheren dengan kebenaran transenden berupa wahyu
4) Pragamatisme : Mengakui kebenaran apabila faktual berfungsi.
Rumusan substantif tentang kebenaran ada beberapa teori, menurut Michael Williams ada lima teori kebenaran, yaitu:
1) Kebenaran Preposisi, yaitu teori
kebenaran yang didasarkan pada kebenaran proposisinya baik proposisi
formal maupun proposisi material nya.
2) Kebenaran Korespondensi, teori
kebenaran yang mendasarkan suatu kebenaran pada adanya korespondensi
antara pernyataan dengan kenyataan (fakta yang satu dengan fakta yang
lain). Selanjutnya teori ini kemudian berkembang menjadi teori Kebenaran
Struktural Paradigmatik, yaitu teori kebenaran yang mendasarkan suatu
kebenaran pada upaya mengkonstruk beragam konsep dalam tatanan struktur
teori (struktur ilmu.structure of science) tertentu yang kokoh untuk
menyederhanakan yang kompleks atau sering
3) Kebenaran Koherensi atau
Konsistensi, yaitu teori kebenaran yang medasarkan suatu kebenaran pada
adanya kesesuaian suatu pernyataan dengan pernyataan-pernyataan lainnya
yang sudah lebih dahulu diketahui, diterima dan diakui kebenarannya.
4) Kebenaran Performatif, yaitu teori
kebenaran yang mengakui bahwa sesuatu itu dianggap benar apabila dapat
diaktualisasikan dalam tindakan.
5) Kebenaran Pragmatik, yaitu teori
kebenaran yang mengakui bahwa sesuatu itu benar apabila mempunyai
kegunaan praktis. Dengan kata lain sesuatu itu dianggap benar apabila
mendatangkan manfaat dan salah apabila tidak mendatangkan manfaat.
Obyek Instrumentatif yang terdiri dan dua hal:
1. Konfirmasi
Fungsi ilmu adalah untuk menjelaskan,
memprediksi proses dan produk yang akan datang atau memberikan
pemaknaan. Pemaknaan tersebut dapat ditampilkan sebagai konfirmasi
absolut dengan menggunakan landasan: asumsi, postulat atau axioma yang
sudah dipastikan benar. Pemaknaan juga dapat ditampilkan sebagai
konfirmi probabilistik dengan menggunakan metode induktif, deduktif,
reflektif. Dalam ontologi dikenal pembuktian a priori dan a posteriori.
Untuk memastikan kebenaran penjelasan atau kebenaran prediksi para ahli
mendasarkan pada dua aspek:
1) Aspek Kuantitatif;
2) Aspek Kualitatif.
Dalam hat konfirmasi, sampai saat ini
dikenal ada tiga teori konfirmasi, yaitu : Decision Theory, menerapkan
kepastian berdasar keputusan apakah hubungan antara hipotesis dengan
evidensi memang memiliki manfaat aktual. Estimation Theory, menetapkan
kepastian dengan memberi peluang benar — salah dengan menggunakan konsep
probabilitas. Reliability Analysis, menetapkan kepastian dengan
mencermati stabilitas evidensi (yang mungkin berubah-ubah karena kondisi
atau karena hal lain) terhadap hipotesis
2. Logika Inferensi
Studi logika adalah studi tentang
tipe-tipe tata pikir. Pada mulanya logika dibangun oleh Aristoteles (3
84-322 SM) dengan mengetengahkan tiga prinsip atau hukum pemikiran,
yaitu Principium Identitatis (Qanun Dzatiyah), Principium
Countradictionis (Qanun Ghairiyah), dan Principium Exclutii Tertii
(Qanun Imtina’). Logika ini sering juga disebut dengan logika Inferensi
karena kontribusi utama logika Aristoteles tersebut adalah untuk membuat
dan menguji inferensi. Dalam perkembangan selanjutnya Logika
Aristoteles juga sering (Disebut dengan logika tradisional.
B. Metode Filsafat
Hanya dengan cara dan metode tertentu
pengetahuan kefilsafatan dapat diperoleh. Mendapatkan pengetahuan yang
benar, lebih-lebih pada taraf kefilsafatan haruslah berlangsung secara
bertahap sedikit demi sedikit. Tidak mungkin sekaligus. Maka metode yang
paling tepat adalah metode ilmiah yang merupakan gabungan antara
analisis dan sintesis yang dipakai secara dialektik berkesinambungan.
1. Metode Analisis
Metode ini melakukan pemeriksaan secara
konseptual atas istilah-istilah yang kita pergunakan dan
pernyataan-pernyataan yang kita buat. Di dalam ilmu pengetahuan alam.
setiap saat kita menyaksikan berbagai macam benda. Dan keberadaanya
dapat diketahui bahwa setiap benda selalu menempati ruang dan waktu
tertentu, berbentuk, berbobot dan berjumlah (volume). Metode analisis mi
sering disebut sebagai metode aposteriori karena bertitik tolak dan
segala sesuatu atau pengetahuan yang adanya itu timbul sesudah
pengalaman, agar sampai kepada suatu pengetahuan yang adanya di atas
atau di luar pengalaman sehari-hari.
2. Metode Sintesis
Sebaliknya, metode mi dibantu dengan
peralatan deduktif yang mencoba menjabarkan sifat-sifat umum yang secara
niscaya ada pada segala sesuatu ke dalam hal-hal dan keadaan-keadaan
konkret khusus tertentu. Sifat-sifat umum yang mengenai kejiwaan manusia
misalnya, dapat dijabarkan ke dalam bermacam-macam jenis dan bentuk
tingkah laku.
Dalam studi filsafat, kedua metode di
atas lebih dipergunakan secara dialektik. Artinya digunakan secara
berkesinambungan dalam suatu rentetan sebab-akibat. Oleh karena itu.
sering dinaTnakan sebagai metode analitiko-sintetik.
C. Sistem Filsafat
Terdapat dua sistem yang populer dalam
dunia filsafat yaitu sistem tertutup (closed system) dan sistem terbuka
(opened system). Sistem tertutup adalah yang berlaku dalam ilmu
pengetahuan pasti (eksakta) dan alam. Sedangkan sistem terbuka lebih
populer digunakan dalam ilmu pengetahuan sosial dan humaniora.
Mempertimbangkan sasaran (obyek studi
filsafat baik yang material maupun yang formal, maka sistem terbuka
tampaknya lebih dominan. Karena obyek filsafat itu tidak terbatas kepada
hal-hal yang rasional dan empiris saja. Melainkan menembus pada hal-hal
yang berderajat irrasional dan yang non empiris (yaitu hal- hal yang
metafisik).
D. Kebenaran Filsafat
Hal kebenaran sesungguhnya merupakan tema
sentral di dalam filsafat ilmu. Secara umum orang merasa bahwa tujuan
pengetahuan adalah untuk mencapai kebenaran. Problematik mengenai
kebenaran merupakan masalah yang mengacu pada tumbuh dan berkembangnya
dalam filsafat ilmu.
1. Definisi Kebenaran
Dalam kamus umum Bahasa Indonesia (oleh Purwadarminta), ditemukan arti kebenaran, yaitu:
- Keadaan yang benar (cocok dengan hal atau keadaan sesungguhnya);
- Sesuatu yang benar (sungguh-sungguh ada, betul demikian halnya);
- Kejujuran, ketulusan hati;
- Selalu izin, perkenanan;
- Jalan kebetulan.
- Jenis-jenis Kebenaran
Kebenaran dapat dibagi dalam tiga jenis menurut telaah dalam filsafat ilmu, yaitu
- Kebenaran Epistemologikal, adalah kebenaran dalam hubungannya dengan pengetahuan manusia,
- Kebenaran Ontologikal, adalah kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat kepada segala sesuatu yang ada maupun diadakan.
- Kebenaran Semantikal, adalah kebenaran yang terdapat serta melekat di dalam tutur kata dan bahasa.
2. Teori-teori Kebenaran
Perbincangan tentang kebenaran dalam
perkembangan pemikiran filsafat sebenarnya sudah dimulai sejak Plato
melalui metode dialog membangun teori pengetahuan yang cukup lengkap
sebagai teori pengetahuan yang paling awal.
Kemudian dilanjutkan oleh Aristoteles
hingga saat mi, dimana teori pengetahuan berkembang terus untuk
mendapatkan penyempurnaan. Untuk mengetahui ilmu pengetahuan mempunyai
nilai kebenaran atau tidak sangat berhubungan erat dengan sikap dan cara
memperoleh pengetahuan.
Berikut secara tradisional teori-teori kebenaran itu antara lain sebagai berikut:
- Teori Kebenaran Saling Berhubungan (Coherence Theory of Truth)
- Teori Kebenaran Saling Berkesesuaian (Correspondence Theory of Truth)
- Teori Kebenaran Inherensi (Inherent Theory of Truth,)
- Teori Kebenaran Berdasarkan Arti (Semantic Theory of Truth)
- Teori Kebenaran Sintaksis
- Teori Kebenaran Nondeskripsi
- Teori Kebenaran Logik yang Berlebihan (Logical Superfluity of Truth)
3. Sifat Kebenaran llmiah
Karena kebenaran tidak dapat begitu saja
terlepas dan kualitas, sifat, hubungan, dan nilai itu sendiri, maka
setiap subjek yang memiliki pengetahuan akan memiliki persepsi dan
pengertian yang amat berbeda satu dengan yang lainnya, dan disitu
terlihat sifat-sifat dan kebenaran. Sifat kebenaran dapat dibedakan
menjadi tiga hal. yaitu:
a. Kebenaran berkaitan dengan kualitas
pengetahuan, dimana setiap pengetahuan yang dimiliki ditilik dan jenis
pengetahuan yang dibangun. Pengetahuan itu berupa:
1) Pengetahuan biasa atau disebut
ordinary knowledge atau common sense knowledge. Pengetahuan seperti ini
memiliki inti kebenaran yang sifatnya subjektif, artinya amat terikat
pada subjek yang mengenai.
2) Pengetahuan ilmiah, yaitu
pengetahuan yang telah menetapkan objek yang khas atau spesifik dengan
menerapkan metodologi yang telah mendapatkan kesepakatan para ahli
sejenis. Kebenaran dalam pengetahuan ilmiah selalu mengalami pembaharuan
sesuai dengan hasil penelitian yang penemuan mutakhir.
3) Pengetahuan filsafat, yaitu jenis
pengetahuan yang pendekatannya melalui metodologi pemikiran filsafat,
bersifat mendasar dan menyeluruh dengan model pemikiran analitis,
kritis, dan spekulatif. Si fat kebenaran yang terkandung adalah
absolute.-intersubjektif.
4) Kebenaran pengetahuan yang
terkandung dalam pengetahuan agama. Pengetahuan agama bersifat dogmatis
yang selalu dihampiri oleh keyakinan yang telah tertentu sehingga
pernyataan dalam kitab suci agama memiliki nilai kebenaran sesuai dengan
keyakinan yang digunakan untuk memahaminya.
b. Kebenaran dikaitkan dengan sifat atau
karakteristik dan bagaimana cara atau dengan alat apakah seseorang
membangun pengetahuannya. Implikasi dan penggunaan alat untuk memperoleh
pengetahuan akan mengakibatkan karakteristik kebenaran yang dikandung
oleh pengetahuan akan memiliki cara tertentu untuk membuktikannya. Jadi
jika membangun pengetahuan melalui indera atau sense experience, maka
pembuktiannya harus melalui indera pula.
c. Kebenaran dikaitkan atas
ketergantungan terjadinya pengetahuan. Membangun pengetahuan tergantung
dan hubungan antara subjek dan objek, mana yang dominan. Jika subjek
yang berperan, maka jenis pengetahuan ini mengandung nilai kebenaran
yang bersifat subjektif. Sebaliknya, jika objek yang berperan, maka
jenis pengetahuannya mengandung nilai kebenaran yang sifatnya objektif
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dan uraian tersebut di atas dapat kita
ambil kesimpulan bahwa apabila dilihat dan sisi obyeknya, maka filsafat
ilmu merupakan cabang dan filsafat yang secara khusus membahas proses
keilmuan manusia. Dengan bahasa lain dapat dikatakan bahwa obyek
substantif dalain filsafat ilmu tersebut di atas pada dasarnya merupakan
obyek material, sedangkan obyek instrumentatif adalah obyek formal.
Filsafat adalah usaha untuk memahami atau
mengerti dunia dalam hal makna dan nilai-nilai. Pengertian filsafat
disederhanakan sebagai proses dan produk, yang mencakup pengertian
filsafat sebagai jenis pengetahuan, ilmu, konsep dan para filsuf pada
zaman dahulu, teori, sistem tertentu yang merupakan hasil dan proses
berfilsafat dan yang mempunyai ciri-ciri tertentu, dan filsafat sebagai
problema yang dihadapi manusia.
Filsafat berusaha menjawab
pertanyaan-pertanyaan tentang asal mula dan sifat dasar alam semesta
tempat manusia hidup serta apa yang menjadi tujuan hidupnya. Dengan
belajar filsafat, tidak menyebabkan kita untuk berhenti belajar, karena
dalam filsafat tidak akan pernah akan dapat mengatakan selesai belajar.
B. Saran
- Hanya dengan cara dan metode tertentu pengetahuan dapat diperoleh
- Ilmu pengetahuan yang diperoleh tidak berguna bila tidak dibagi atau diberikan kepada orang lain
- Ilmu pengetahuan yang ada harus dimanfaatkan
- Sebagai pembaca yang budiman kami meminta saran dan kritikkannya agar makalah kami berikutnya dapat bermanfaat
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah, (Yogyakarta: Sipres, 1993)
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Rajawali Pers, 2005)
http ://sabrinafauza. wordpress .com/2009/ 11 / 1 7/obyek-fiIsafat diakses tanggal 09 Oktober 2010
Jujun Suriasumantri, Filsafat Ilmu
Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005), hal.
33. Lihat Juga Jerome R. Ravertz, Filsafat Ilmu Sejarah & Ruang
Lingkup Bahasan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004)
Mohammad Muslih, Filsafat ilmu, Kajian
Atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori llmu Pengetahuan.
(Yogyakarta: Belukar, 2005)
Musa As’ari, Filsafat Islam Sunnah Nabi Dalam Berfikir, (Yogyakarta: LESFI, 1999)
M. Amin Abdullah, Rekonstruksi Metodologi
Studi Agama dalam Masyarakat Multikultural dan Multireligius, Pidato
Pengukuhan Guru Besar Ilmu Filsafat lAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 13
Mei 2000)
Noeng Muhadjir. Filsafat Ilmu: Positivisme, Pos-Positivisme dan Pos-Modernisme, (Yogyakarta: Rakesarasin)
The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Liberti, 1991)